Kali ini saya hanya menulis artikel ringan tentang pandangan saya tentang kondisi saat ini. Adaptasi kebiasaan baru (new normal) diperbolehkan untuk daerah yang termasuk dalam kategori zona biru, artinya pergerakan masyarakat boleh mencapai 100%, dengan syarat tetap jaga jarak dan mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Di Jawa Barat, per tanggal 12 Juni 2020, telah ada 17 daerah yang menerapkan AKB, termasuk tempat saya tinggal, Kota Cimahi.
Masyarakat berpenghasilan rendah dan harian adalah yang pertama kali terkena dampak ekonomi dari pandemi (wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas, kbbi). Bantuan dari pemerintah pusat dan daerah diberikan kepada golongan masyarakat ini, walaupun pada penyalurannya banyak data tidak update dan salah sasaran. Saya berharap bantuan ini tidak cacat administrasi dan tidak juga dikorupsi.
Kenapa saya tidak menyalahkan lambatnya pemerintah dalam merespon Covid-19?
Karena saya pun melakukan hal yang sama, menganggap enteng, dan bahkan masih bisa berkelakar di awal penyebaran virus ini pada bulan Februari 2020. Saya seharusnya lebih paham dan peduli karena telah bekerja di bidang penelitian farmasi lebih dari 10 tahun, bahkan saya pun membaca bagaimana pandemi Flu Spanyol pada tahun 1900-an banyak memakan korban. Sebuah artikel menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal akibat Flu Spanyol lebih banyak dari korban akibat Perang Dunia I (link).
Saat itu, saya berpendapat bahwa Covid-19 akan sulit dideteksi di Indonesia, karena pasien dengan gejala flu tidak akan berobat ke RS (kecuali pada kasus berat dengan gangguan pernafasan), maka akan sulit diketahui apakah virus ini sudah masuk atau belum ke tanah air. Saya pun setuju dengan pernyataan Menkes yang menyebutkan bahwa penggunaan masker hanya untuk orang sakit.
Tapi, ada fakta yang saya abaikan, yaitu tingkat kesadaran masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Berapa persen masyarakat yang sakit atau merasa sakit memakai masker? Berapa banyak orang yang melakukan etika batuk dan bersin dengan baik?
Tapi, ada fakta yang saya abaikan, yaitu tingkat kesadaran masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Berapa persen masyarakat yang sakit atau merasa sakit memakai masker? Berapa banyak orang yang melakukan etika batuk dan bersin dengan baik?
Sehingga pada akhirnya penyebaran virus ini tidak dapat dihindari. Walaupun akhirnya WHO mewajibkan pemakaian masker untuk semua orang, masih banyak yang tidak memakai masker di tempat umum atau masker hanya dijadikan sebagai asesoris saja, bahkan ketika dampak pandemi sudah sangat terasa, kesadaran ini masih tetap rendah.
Menurut saya, kematian akibat pandemi Covid-19 ini tidak begitu dirasakan oleh mayoritas masyarakat, sehingga mereka tidak mematuhi anjuran pemerintah mengenai protokol kesehatan. Kalangan masyarakat yang memiliki smartphone pun, yang dapat dengan mudah mengakses data dan berita, tidak semuanya mengikuti protokol kesehatan. Buktinya, pada saat PSBB, mereka memadati tempat umum tanpa jaga jarak hanya untuk mengabadikan momen dan mendapatkan konten, ingat kasus kerumunan di McD Sarinah atau penuhnya beberapa kafe di Bandung (ketika PSBB diperlonggar). Mereka ini bukan kalangan yang tidak memperoleh informasi dan mayoritas berpendidikan.
Menurut saya, kematian akibat pandemi Covid-19 ini tidak begitu dirasakan oleh mayoritas masyarakat, sehingga mereka tidak mematuhi anjuran pemerintah mengenai protokol kesehatan. Kalangan masyarakat yang memiliki smartphone pun, yang dapat dengan mudah mengakses data dan berita, tidak semuanya mengikuti protokol kesehatan. Buktinya, pada saat PSBB, mereka memadati tempat umum tanpa jaga jarak hanya untuk mengabadikan momen dan mendapatkan konten, ingat kasus kerumunan di McD Sarinah atau penuhnya beberapa kafe di Bandung (ketika PSBB diperlonggar). Mereka ini bukan kalangan yang tidak memperoleh informasi dan mayoritas berpendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 83.931 wilayah administrasi setingkat desa (termasuk kelurahan) di Indonesia pada tahun 2018. Jumlah kematian akibat Covid-19 per tanggal 15 Juni 2020 adalah 2198 jiwa, bukan jumlah yang sedikit, tetapi jika kita bandingkan antara jumlah korban meninggal dan jumlah desa di Indonesia artinya tidak selalu ada kejadian satu orang meninggal di setiap desa. Saya sengaja membandingkannya dengan jumlah desa/kelurahan bukan dengan jumlah RT/RW atau bahkan jumlah masyarakat Indonesia.
Bagaimana cara kita dapat melewati pandemi?
Tingkatkan kesadaran diri dan tidak bergantung kepada pemerintah.
Bagi saya yang menghabiskan masa remaja pada era ORBA, saya tidak suka jika kegiatan pribadi saya dibatasi pemerintah, misalnya dilarang berkegiatan atau bahkan secara ekstrim pemerintah dapat mengakses smartphone kita sehingga mobilitas dan siapa saja yang kita jumpai dapat dipantau. Saya lebih memilih jika perubahan dimulai dari masyarakat, tidak menunggu pemerintah melarang atau memberlakukan peraturan yang sangat ketat.
Jika pemerintah menerapkan PSBB yang longgar, seperti diperbolehkannya pulang kampung bagi orang yang sudah tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki tempat tinggal lagi di kota. Maka saya akan protes dengan cara diam di rumah aja, karena menurut saya, mudik dan pulang kampung, walaupun tujuannya berbeda, tetapi sama saja dapat menyebarkan virus.
Jika pemerintah memperlonggar PSBB dan membuka lagi kafe dan mall, saya menentang kebijakan itu dengan tidak datang ke mall sebelum keadaan terkendali. Mall dibuka, tetapi bukan berarti kita wajib datang kan, atau selemah-lemahnya iman adalah tidak jadi masuk jika tempatnya penuh atau tidak menerapkan protokol kesehatan.
Sama halnya dengan pembukaan kembali area publik atau kegiatan CFD, saya lebih memilih untuk tidak pergi ke tempat yang ramai.
- Dalam hal keuangan, bertahanlah selama mungkin, hindari belanja barang konsumtif. Gunakan uang sebijak mungkin. Jika berlebih, perbanyaklah sedekah. Apabila masih ada dana yang tersisa, maka tambahlah saldo rekening reksadana dan sahamnya, dengan catatan terlebih dahulu melakukan analisis teknikal dan fundamental.
- Bagi pekerja yang "hanya" mendapatkan penghasilan 50%, jika harus meminjam uang untuk menutup pengeluaran, hindari pinjaman online dan tarik tunai dari kartu kredit karena bunganya sangat tinggi. Apalagi jika hanya digunakan untuk kebutuhan konsumtif dan tidak mendesak.
- Bagi penerima sumbangan yang salah sasaran, ambil sumbangannya, dan lihat adakah tetangga yang membutuhkan dan tidak menerima bantuan, biasanya warga yang mengontrak dan mahasiswa yang kos tidak terdata sebagai penerima bantuan.
- Jagalah kesehatan, jangan sampai sakit, karena sakit itu mahal. Tabungan akan terkuras jika kita sakit, apalagi jika tidak memiliki asuransi kesehatan atau lalai membayar BPJS Kesehatan.
- Pakai masker (jangan lupa ganti setiap hari atau lebih sering), cuci tangan sebelum berkegiatan, dan yang tidak kalah penting adalah jaga jarak. Ingatkan siapa saja di antrian minimarket atau swalayan untuk jaga jarak, berdiri sesuai tanda yang telah disediakan.
Tingkatkan kesadaran diri dan tidak bergantung kepada pemerintah.
Bagi saya yang menghabiskan masa remaja pada era ORBA, saya tidak suka jika kegiatan pribadi saya dibatasi pemerintah, misalnya dilarang berkegiatan atau bahkan secara ekstrim pemerintah dapat mengakses smartphone kita sehingga mobilitas dan siapa saja yang kita jumpai dapat dipantau. Saya lebih memilih jika perubahan dimulai dari masyarakat, tidak menunggu pemerintah melarang atau memberlakukan peraturan yang sangat ketat.
Jika pemerintah menerapkan PSBB yang longgar, seperti diperbolehkannya pulang kampung bagi orang yang sudah tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki tempat tinggal lagi di kota. Maka saya akan protes dengan cara diam di rumah aja, karena menurut saya, mudik dan pulang kampung, walaupun tujuannya berbeda, tetapi sama saja dapat menyebarkan virus.
Jika pemerintah memperlonggar PSBB dan membuka lagi kafe dan mall, saya menentang kebijakan itu dengan tidak datang ke mall sebelum keadaan terkendali. Mall dibuka, tetapi bukan berarti kita wajib datang kan, atau selemah-lemahnya iman adalah tidak jadi masuk jika tempatnya penuh atau tidak menerapkan protokol kesehatan.
Sama halnya dengan pembukaan kembali area publik atau kegiatan CFD, saya lebih memilih untuk tidak pergi ke tempat yang ramai.
Ini adalah cara saya menolak kebijakan yang menurut saya tidak tepat. Apa yang saya lakukan sesuai dengan prinsip yang saya pegang.
Tapi kan banyak banget orang yang berkeliaran dan tidak memakai masker dan jaga jarak.
Kita tidak dapat mengatur orang lain, yang bisa kita lakukan adalah membatasi diri sendiri dan keluarga. PSBB dari awal menurut saya hanya pembatasan saja sehingga penyebaran virus lebih terkendali, tidak membabi buta. Sehingga, pasien dengan gejala berat dapat dirawat di rumah sakit, tidak ada penumpukan pasien, dan tingkat kematian dapat ditekan.
Bagi kita yang masih bisa bekerja dari rumah, paling aman ya di rumah aja. Kasih keleluasaan untuk mereka yang harus bekerja di luar sehingga mereka juga aman tidak ada kepadatan. Pembatasan sebagian ini memang tidak akan menghentikan penyebaran virus dalam waktu dekat, butuh waktu lebih lama tidak seperti lockdown (pembatasan 100%). Tapi, saya setuju dengan teman saya yang mengatakan sekarang sudah terlambat jika pun melakukan lockdown, kecuali untuk daerah yang termasuk zona hitam.
Jadi kebiasaan baru yang harus kita terapkan hanya tiga hal, memakai masker, mencuci tangan, dan jaga jarak karena penularan melalui droplet pada saat kita berbicara, batuk, atau bersin. Semoga pandemi cepat berlalu dan kondisi ekonomi pun segera membaik.
Keep safe and stay alive. ❤ [E.S]
Pas psbb, tiap hari buka pintu liat langit warnanya biru dan awan putih. Stlh relaksasi psbb, buka pintu liat langit dan awan ga ada bedanya, putih abu2 semua 🤦♀️
BalasHapusWell, with PlayOJO – there are not any wagering necessities in any respect. That’s proper, just eighty free spins and whatever you win, you get to maintain. Or, if they 1xbet are, the winnings are capped at sure amount|a specific amount|a certain quantity}.
BalasHapus