Divestasi Freeport menjadi perbincangan di social media setelah penandatangan sejumlah perjanjian terkait penjualan saham Freeport McMoRan (FCX) dan hak partisipasi Rio Tinto di PT Freeport Indonesia (PTFI) kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (PT Inalum) berhasil dilakukan, sehingga kepemilikan saham pemerintah (melalui PT Inalum) bertambah menjadi 51%. Muncul berbagai respon di masyarakat disertai dengan pertanyaan-pertanyaan. Artikel ini akan menjawab beberapa pertanyaan tersebut, walaupun sebenarnya sudah banyak yang menulis mengenai topik yang sama, baik di media cetak, maupun online. Setiap jawaban diambil dari Laporan Final Fact Sheet Divestasi Freeport PT Inalum dan beberapa artikel yang diperoleh.
Sebagai pendahuluan, mari kita mulai dari sejarah FCX masuk ke Indonesia. Dua tahun setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Soeharto, presiden baru Indonesia tersebut menandatangani UU Penanaman Modal Asing dan Freeport jadi perusahaan luar negeri pertama yang dipersilakan masuk. Pemerintah Indonesia menerbitkan Kontrak Karya I untuk PTFI. Kontrak tersebut menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Dalam perjanjian itu, PTFI berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi 10 ribu hektare lahan konsesi di Kabupaten Mimika selama 30 tahun.
Seharusnya, Kontrak Karya I berakhir pada tahun 1997. Namun, PTFI menemukan cadangan emas terbesar di Grasberg pada tahun 1988, sehingga PTFI maju ke meja perundingan untuk mendapatkan kesepakatan baru. Pada tahun 1991, pemerintah menerbitkan Kontrak Karya II, penandatangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia, Ginandjar Kartasasmita dan pihak FCX. Lahan yang dikuasai PTFI pun bertambah luas dari hanya 10 ribu hektare menjadi 2,6 juta hektare atau sekitar 6,2 persen wilayah Papua (termasuk di dalamnya adalah tanah adat). Artikel tentang sejarah kontrak Freeport di Indonesia dapat dibaca di sini.
Sebagai pendahuluan, mari kita mulai dari sejarah FCX masuk ke Indonesia. Dua tahun setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Soeharto, presiden baru Indonesia tersebut menandatangani UU Penanaman Modal Asing dan Freeport jadi perusahaan luar negeri pertama yang dipersilakan masuk. Pemerintah Indonesia menerbitkan Kontrak Karya I untuk PTFI. Kontrak tersebut menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Dalam perjanjian itu, PTFI berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi 10 ribu hektare lahan konsesi di Kabupaten Mimika selama 30 tahun.
Seharusnya, Kontrak Karya I berakhir pada tahun 1997. Namun, PTFI menemukan cadangan emas terbesar di Grasberg pada tahun 1988, sehingga PTFI maju ke meja perundingan untuk mendapatkan kesepakatan baru. Pada tahun 1991, pemerintah menerbitkan Kontrak Karya II, penandatangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia, Ginandjar Kartasasmita dan pihak FCX. Lahan yang dikuasai PTFI pun bertambah luas dari hanya 10 ribu hektare menjadi 2,6 juta hektare atau sekitar 6,2 persen wilayah Papua (termasuk di dalamnya adalah tanah adat). Artikel tentang sejarah kontrak Freeport di Indonesia dapat dibaca di sini.
Sebelum dilanjutkan, disarankan untuk menyiapkan cemilan dan secangkir teh manis/kopi karena artikel kali ini cukup panjang dan memuat banyak istilah keuangan. Semoga tidak bosan membaca sampai selesai. Sekarang, mari kita mulai dari pertanyaan pertama.
Apakah pemerintah akan mendapatkan Freeport secara gratis setelah Kontrak Karya (KK) berakhir?
Kontrak Karya PTFI berbeda dengan konsesi atau izin untuk membuka tambang minyak dan gas yang apabila konsesi berakhir, maka tambang otomatis akan dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina. Berikut adalah pasal yang mengatur mengenai berakhirnya kontrak pada KK II.
Artinya, "di akhir masa kontrak, semua aset PTFI akan ditawarkan ke pemerintah minimal sama dengan harga pasar atau harga buku. Bila pemerintah tidak berminat, maka aset tersebut bisa ditawarkan ke pasar. Pada tahun 2017, nilai buku aset PTFI berada di kisaran US$ 6 miliar (Rp 87 T). Jadi, anggapan bahwa Freeport akan diserahkan ke pemerintah secara gratis setelah KK selesai adalah tidak tepat. Artikel lain yang membahas ini dapat dibaca di sini.
Apakah Kontrak Karya II akan berakhir pada tahun 2021?
Terkait masa eksplorasi dan penambangan, FCX (pengendali PTFI) dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda
atas isi pasal 31-2 KK (Term Clause) pada KK II. Menurut FCX, KK akan berakhir di tahun 2021 namun mereka berhak
mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041), pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut
secara "tidak wajar".
Berdasarkan pasal di atas, apabila pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai tahun 2041, maka perbedaan interpretasi ini akan dibawa ke Arbitrase Internasional untuk diselesaikan. Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa, tidak ada jaminan bahwa pemerintah akan dapat memenangkan sengketa ini. Oleh karena itu, anggapan bahwa Kontrak Karya PTFI akan berakhir pada tahun 2021 juga tidak tepat.
Apakah risiko apabila Arbitrase terjadi?
Andai Arbitrase memerlukan waktu 5 tahun atau misalnya selesai pada tahun 2026, maka ada beberapa risiko yang akan ditanggung, antara lain:
Opportunity lost
Proses panjang arbitrase akan menyebabkan ketidakpastian operasi, membahayakan kelangsungan tambang, serta ongkos sosial ekonomi, khususnya ke Kabupaten Timika dan Provinsi Papua, yang amat besar. Sebagai gambaran, 90% kegiatan ekonomi 300.000 penduduk Mimika bergantung pada operasional PTFI.
Selain itu, Indonesia masih membutuhkan keahlian PTFI untuk terus mengembangkan Tambang Grasberg melalui penambangan tertutup dengan metode block caving. Jika Indonesia tidak memperpanjang operasi PTFI, dikhawatirkan PTFI akan berhenti melakukan penambangan block caving sehingga dapat mengakibatkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen. Jika ini terjadi, pemerintah harus mengeluarkan biaya mahal untuk pemulihan operasional tambang. Metode block caving yang sedang dioperasikan saat ini di Grasberg adalah yang terumit dan tersulit di dunia.
Selain itu, Indonesia masih membutuhkan keahlian PTFI untuk terus mengembangkan Tambang Grasberg melalui penambangan tertutup dengan metode block caving. Jika Indonesia tidak memperpanjang operasi PTFI, dikhawatirkan PTFI akan berhenti melakukan penambangan block caving sehingga dapat mengakibatkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen. Jika ini terjadi, pemerintah harus mengeluarkan biaya mahal untuk pemulihan operasional tambang. Metode block caving yang sedang dioperasikan saat ini di Grasberg adalah yang terumit dan tersulit di dunia.
Indonesia pun akan kehilangan pendapatan pajak dan royalti pemerintah dari Tambang Grasberg antara tahun 2018-2026 yang diestimasi sebesar lebih dari US$ 6,3 miliar.
"Menang jadi abu, kalah jadi arang"
Jika pemerintah kalah di dalam arbitrase, tidak hanya pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dollar Amerika ke FCX, namun juga seluruh aset pemerintah di luar negeri dapat disita jika pemerintah tidak memberikan indikasi akan membayar ganti rugi tersebut.
Dan andai kita asumsikan pemerintah menang dalam arbitrase atau jika FCX akhirnya setuju mengakhiri perjanjian tanpa proses arbitrase, berdasarkan KK, maka pemerintah tetap harus membayar aset PTFI yang nilainya akan lebih tinggi dibandingkan membeli sekarang. Telah disebutkan bahwa nilai aset pada tahun 2017 adalah US$ 6 miliar ditambah dengan nilai investasi pertambangan bawah tanah metode block caving, yaitu US$ 5 miliar (sampai tahun 2022). Mungkin saja nilai uang yang sekarang dapat digunakan untuk membeli 41,64% (agar menjadi genap 51%), pada tahun 2026 bisa saja hanya dapat membeli 10% saham saja. Ingat kan iklan proverty di Jakarta dan sekitarnya, "Senin harga naik". Hal ini juga sama, lebih baik hari ini daripada nanti, atau yang paling baik sebenarnya kemarin (karena harga pasti lebih murah daripada hari ini).
Dan andai kita asumsikan pemerintah menang dalam arbitrase atau jika FCX akhirnya setuju mengakhiri perjanjian tanpa proses arbitrase, berdasarkan KK, maka pemerintah tetap harus membayar aset PTFI yang nilainya akan lebih tinggi dibandingkan membeli sekarang. Telah disebutkan bahwa nilai aset pada tahun 2017 adalah US$ 6 miliar ditambah dengan nilai investasi pertambangan bawah tanah metode block caving, yaitu US$ 5 miliar (sampai tahun 2022). Mungkin saja nilai uang yang sekarang dapat digunakan untuk membeli 41,64% (agar menjadi genap 51%), pada tahun 2026 bisa saja hanya dapat membeli 10% saham saja. Ingat kan iklan proverty di Jakarta dan sekitarnya, "Senin harga naik". Hal ini juga sama, lebih baik hari ini daripada nanti, atau yang paling baik sebenarnya kemarin (karena harga pasti lebih murah daripada hari ini).
Apakah kaitan Skema Rio Tinto dengan Divestasi PTFI?
Pada tahun 1996, Rio Tinto dan FCX menandatangani participation agreement/participation interest/hak partisipasi yang intinya memberikan hak atas hasil produksi dan kewajiban atas biaya operasi PTFI sebesar 40% kepada Rio Tinto sampai dengan tahun 2022. Pemerintah melalui Menteri ESDM RI telah menyetujui skema kerjasama tersebut pada tanggal 29 April 1996.
Mulai tahun 2023, Rio Tinto akan mendapatkan hak dan kewajiban penuh sebesar 40% hingga tahun 2041, contohnya apabila hasil produksi 100 ton, maka Rio Tinto akan mendapat 40 ton, dan sisa 60 ton dibagi antara Indonesia dan FCX. Hal ini akan mengurangi pendapatan pemerintah. Berikut adalah Ilustrasi skema Rio Tinto, yaitu sebelum dilakukan divestasi, setelah dilakukan divestasi tetapi hanya membeli saham FCX, dan yang terakhir setelah divestasi saham FCX dan hak partisipasi Rio Tinto:
Awal tahun 2017, CEO Rio Tinto mengumumkan akan keluar dari PTFI dan akan menawarkan hak partisipasinya kepada pihak ketiga. Jika ini
terjadi, maka akan semakin sulit untuk menyatukan komposisi saham dan komposisi kepemilikan PTFI. Oleh karena itu, pemerintah segera melakukan negosiasi dengan Rio Tinto untuk menjual hak partisipasi-nya kepada pemerintah dan berhasil. Ini adalah alasan kenapa pembelian PTFI melalui Rio Tinto.
Akhirnya, kita masuk ke bagian terakhir dan lumayan sulit untuk dijelaskan, yaitu mengenai nilai divestasi.
Apakah nilai Deviasi (penjualan/pelepasan saham) Freeport ini mahal?
Salah satu indikator untuk mengetahui nilai suatu saham mahal atau murah adalah dengan cara menghitung P/E ratio atau PER (Price to Earning Ratio), yaitu hasil pembagian harga saham dengan laba bersih perusahaan. Secara sederhana, PER 10 kali artinya harga saham setara dengan 10 tahun laba bersih perusahaan. Perusahaan dengan PER 10 kali dikatakan “lebih murah” dibandingkan perusahaan dengan PER 15 kali. Artikel lengkap mengenai PER dapat dibaca di sini.
Pertanyaan berikutnya, berapa nilai PER yang wajar, yaitu dengan cara nilai PER saham PTFI yang ditawarkan dibandingkan dengan nilai PER saham FCX di bursa atau dengan rata-rata PER IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang dapat diperoleh dari website Bursa Efek Indonesia/BEI (www.idx.co.id) atau Bloomberg (www.bloomberg.com).
Berdasarkan Final Fact Sheet Divestasi Freeport PT Inalum, nilai PER PTFI adalah 4,18x masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan PER FCX di bursa saham sebesar 10,65x dan rata-rata PER di BEI sebesar 14,8x. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai saham PTFI yang ditawarkan cukup murah.
Selain itu, ada hal lain yang harus dipertimbangkan yaitu nilai keuntungan PTFI. Berikut adalah proyeksi kinerja PTFI (dalam juta USD) mulai dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2041.
Total revenue adalah penerimaan total dari hasil penjualan, sedangkan EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (pengurangan nilai aktiva tidak berwujud, seperti merek dagang, hak cipta, dll secara bertahap dalam jangka waktu tertentu).
EBITDA melaporkan laba perusahaan sebelum dikurangi bunga utang dan pajak terutang yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Pada grafik dapat dilihat, bahwa keuntungan PTFI akan meningkat pada tahun 2021 dengan asumsi pertambangan bawah tanah berhasil dilakukan.
Kesimpulan akhir mengapa divestasi ini lebih baik dilakukan sekarang bukan di tahun 2021 atau setelah penyelesaian sengketa karena nilai PTFI lebih murah sekarang dan karena Indonesia belum dapat melakukan penambangan tertutup, sehingga proyeksi keuntungan seperti yang telah digambarkan di atas tidak akan terwujud. Selain itu, Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia, kita tidak dapat menutup diri di era globalisasi ini, tidak pula dapat semena-mena (contohnya menyalahi kontrak yang telah disepakati). Hal ini akan membuat citra bangsa ini buruk di mata dunia. Nama baik dan harga diri Bangsa Indonesia harus selalu dijaga.
Sekian paparan yang dapat dilakukan, semoga kita jadi mengetahui sesulit apa pemerintah memperbaiki kontrak warisan masa lalu dan dapat juga melihat permasalahan menjadi lebih jernih. Saya mengerti apabila ada yang tidak setuju dengan tulisan ini, apa yang saya tulis adalah kesimpulan dari bahan-bahan yang telah saya baca. Semoga kita mau terus belajar karena ilmu kita itu hanyalah sebutir pasir di pantai atau secercah sinar di antara (sinar) dari jutaan bintang. Apa yang kita yakini benar, belum tentu itu adalah kebenaran. (ES)




Tidak ada komentar:
Posting Komentar