Kondisi ekonomi atau keuangan sering dijadikan "kambing hitam" dalam terjadinya masalah/perselisihan dalam keluarga. Selain itu, masalah keuangan pun akan dijadikan penyebab rendahnya tingkat pendidikan atau kesehatan di masyarakat. Sayangnya, cara mengelola dan merencanakan keuangan pribadi atau keluarga tidak pernah diajarkan di sekolah formal padahal materi ini dapat membantu setiap orang keluar dari krisis keuangan (seperti sekarang) dan mencapai tujuan-tujuan keuangan, seperti memiliki rumah, kendaraan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, liburan, perjalanan ibadah, dan dana pensiun. Semua tujuan tersebut dapat tercapai, apabila disiplin dalam merencanakan keuangan dan pastikan hidup sesuai dengan kemampuan.
Dana pendidikan anak dan memiliki rumah adalah impian hampir setiap orang. Walaupun pendidikan di sekolah negeri "gratis", tetapi pasti orang tua ingin anaknya masuk sekolah negeri favorit atau sekolah swasta terbaik. Selain itu, pendidikan tidak hanya selesai di SMU saja, harapan dan tujuan berikutnya adalah perguruan negeri terbaik, baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, biaya pendidikan dan rumah harus disiapkan dengan baik, sehingga dana tersedia pada saat dibutuhkan.
Siapa yang tidak tahu peribahasa "Hemat Pangkal Kaya", orang tua saya selalu mengajarkan berhemat sejak kecil, menyisihkan uang saku untuk ditabung. Awalnya di celengan, kemudian menabung di sekolah atau tempat mengaji dan akhirnya membuka tabungan di bank. Kebiasaan ini terus terbawa sampai saya besar dan memiliki uang sendiri.
Kebiasaan menabung harus dibentuk sedini mungkin, tidak dapat dilakukan secara instan.
Pada tahun 2006, setelah lulus, saya langsung mendapatkan pekerjaan. Selama setahun, 50% dari penghasilan habis untuk membayar utang saat pengerjaan skripsi dan kuliah profesi ke beberapa teman. Setelah utang lunas, kebiasaan menyisihkan uang ini pun tetap dilanjutkan, walaupun tidak pernah lebih dari 2-3x karena uang tidak pernah berhasil terkumpul, selalu tergoda untuk menggunakannya. Pertengahan tahun 2007, akhirnya membuka tabungan berencana dengan harapan uang tabungan tidak akan diambil sebelum masa kontrak berakhir.
Becermin dari orang tua yang bekerja sebagai karyawan swasta yang diberhentikan pada saat krisis moneter pada tahun 1998 tanpa uang pesangon, saya pun merasa tidak aman menjadi karyawan. Saya membuka rekening Dana Pensiun di Bank Muamalat, di mana uang ini hanya dapat diambil pada saat memasuki usia pensiun. Selain itu, saya pun ingin secepatnya memiliki aset sendiri, akan tetapi ternyata menabung saja tidak cukup. Perlu berapa tahun menabung agar dapat memiliki rumah atau tanah, sedangkan harga akan terus naik setiap tahun (bahkan menurut iklan, "Senin harga naik"). Kekhawatiran ini seakan terjawab oleh Safir Senduk di artikelnya yang berjudul "Siapa Bilang Jadi Karyawan nggak Bisa Kaya". Dari beliaulah saya mengenal istilah perencanaan keuangan untuk pertama kali.
Target pertama setelah mengenal perencanaan keuangan adalah memiliki rumah. Setelah mencari rumah di lokasi sekitar Cimahi-Bandung, mulai dari daerah Padalarang, Soekarno-Hatta, bahkan sampai Rancaekek, hasilnya mengecewakan. Model rumah yang disukai harganya tidak terjangkau, sedangkan budget hanya untuk rumah tipe kecil dengan lokasi di ujung sana, tidak ekonomis. Target rumah pertama pun ditunda, dan target direvisi, memiliki rumah sebelum usia 30 tahun (alhamdulillah tercapai). Melihat kenaikan harga rumah, dibandingkan dengan kecepatan menabung (apalagi dengan gaji di perusahaan PMDN di Cimahi), semakin berpikir bahwa memilki rumah adalah hal yang sangat sulit. Tetapi, hal sulit bukan berarti keniscayaan, oleh karena itu saya mulai memikirkan cara lain.
Setelah browsing mengenai perencanaan keuangan, kemudian mengenal istilah invetasi dan produk-produknya seperti, logam mulia, reksadana, saham, dan obligasi. Saat itu, investasi masih tergolong tidak terjangkau untuk karyawan baru. Rekening saham mulai dari Rp 10 juta, obligasi mulai dari 5 juta, dan logam mulia 10 gram mulai dari Rp 4 juta. Tetapi, ada instrumen reksadana sudah dapat dibeli pertama kali yaitu Rp 500.000 dan auto installment (pemotongan otomatis dari rekening tabungan) minimal Rp 250.000 (sekarang lebih murah lagi). Saya membeli reksadana pertama kali di Bank Mandiri, saat itu belum tahu mengenai manajer investasi dan perusahaan sekuritas.
Selain browsing, dari linimasa twitter-lah banyak memperoleh informasi, follow banyak financial planner yang sering share ilmu. Selain itu, salah satu buku paling menginpirasi tentang perencanaan keuangan adalah "Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah untuk Tidak Miskin", oleh Ligwina Hananto (akun twitter @mrshananto). Dari linimasa juga saya mengetahui tentang Indonesia Financial Planning Expo di Jakarta pada tahun 2011, mendapatkan pengetahuan tentang keuangan dengan lebih sistematis, mendapatkan voucher reksadana, dan pertama kali dicek cash flow-nya, alhamdulillah saat itu positif jadi nggak malu.
Kesimpulannya, sebelum berinvestasi, hal terpenting yang harus dipahami adalah perencanaan keuangan, karena investasi tanpa perencanaan dapat menimbulkan masalah keuangan. Meminjam istilah dari Ligwina Hananto ketika kita akan berinvestasi, "Tujuan lo apa?".
Sebagai pendahuluan saya cukupkan sekian, semoga tulisan lanjutannya dapat di-publish dalam waktu dekat, sehingga dapat bermanfaat di tengah kekacauan keuangan akibat pandemi. Wassalam. [E.S]
Note: saya bukan financial planner, jadi tidak akan memberikan rekomendasi tentang reksadana apa yang bagus atau saham apa yang prosfektif, hanya ingin berbagi pengalaman saja.