Saya tidak akan pernah bisa jadi presiden.
Bukan karena saya tidak kompeten, bukan.
Tetapi karena saya tidak memiliki foto keluarga lengkap bersama orang tua, kakek-nenek dan semua turunan.
Saya tidak akan pernah bisa jadi presiden.
Bukan karena saya tidak dapat melaksanakan amanat Pancasila dan UUD 1945.
Tetapi karena tanggal lahir bapak saya hanya hasil perkiraan sendiri, sejak lahir hanya tercatat sebagai Rabu Legi, tahunnya hanya ingat setelah pemberontakan PKI di Madiun, bahkan berdasarkan KTP usia adiknya pun lebih tua dua tahun.
Saya tidak akan pernah bisa jadi presiden.
Bukan karena saya tidak dapat memerangi korupsi.
Tetapi karena saya perempuan turunan Jawa-Sunda yang hitam, jelek, pendek, dan gigi pun sudah tanggal beberapa kali.
Mereka bilang presiden itu harus laki-laki yang gagah, tampan, turunan orang terpandang, tidak dapat bekerja pun bukan halangan.
Saya tidak akan pernah bisa jadi presiden.
Bukan karena saya tidak bisa memajukan negeri ini.
Tetapi karena saya hanya orang biasa, bukan anak penguasa ORBA dan kroni-kroninya, kakek saya pun bukan anggota BPUPKI yang berjuang untuk kemerdekaan republik ini.
Saya tidak akan pernah bisa jadi presiden di negeri ini.
Bukan karena saya tidak paham ekonomi dan pengelolaan negara dalam dan luar negeri.
Tetapi karena saya tidak dapat berbahasa Inggris fluently, dianggap tidak layak oleh teman-teman dan saudara sendiri, yang tidak berani bermimpi, merendahkan diri dan berpikir bahwa tukang kayu tidak akan pernah bisa memimpin negeri dua kali.
Jika tuan dan puan beranggapan bahwa orang biasa tidak akan pernah bisa jadi presiden, jangan hancurkan harapan orang-orang yang optimis bahwa setiap anak yang lahir di bumi pertiwi memiliki hak yang sama untuk mengabdi.
Cimahi, 6 Januari 2019 11.11
-ES-